*sigh*
akhirnya posting blog juga. Sempat merasa bersalah karena saya baru sempat
membaca novel ini satu bulan setelah menerimanya. Maafkan ya om Gin, biasalah
mahasiswa semester lima ini suka ‘sok’ sibuk gitu *sungkem.
Jadi
postingan kali ini akan membahas tentang Novel Bulan Merah karya om Gin. Sedikit
cerita, saya berkesempatan membaca novel ini, awalnya karena iseng mengikuti
Bulan Merah Keliling Nusantara yang saya dapatkan infonya timeline twiiter. Entah ada motif apa di baliknya, yang pasti saya
iseng aja. Lumayan lah baca novel gratis, begitu pikir saya. Apa itu Bulan
Merah Keliling Nusantara? Baca di sini.
Om Gin memeriahkan Kampus Fiksi 14
Tanpa
saya duga ternyata saya berkesempatan bertemu langsung dengan sang penulis di
Kampus Fiksi 14. Ya, saya memang sebelumya sudah tahu kalau om Gin ini alumnus
Kampus Fiksi 13 yang cerpennya menang tantangan #NulisTigaJam, tapi mana saya
duga kalau beliau akan hadir di perhelatan Kampus Fiksi angkatan senjutnya.
Betapa beruntungnya saya ketika om Gin mengenali saya dan memberikan langsung
novelnya secara gratis, tanpa embel-embel dikembalikan seperti perjajian Bulan
Merah Keliling Nusantara :D. Ah, #AkuCintaGratisan.
Judul Buku : Bulan Merah
Penulis : Gin
Editor : Indradya SP
Penerbit : Qaita (Mizan Group)
Tahun : 2014
Adalah
Bulan Merah sebuah kelompok musik keroncong yang lahir pada masa perang
kemerdekan. Tidak seperti kelompok musik keroncong pada umumnya, Bulan Merah merupakan
kelompok musik keroncong pembawa pesan kemerdekaan. Dibentuk oleh dua
kakak-beradik Bumi dan Siti yang sejak kecil diasuh oleh paman Rawi lantaran
kedua orang tuanya—juga pembawa pesan rahasia dibunuh oleh patrol Belanda
ketika sedang beraksi. Dari awal akan didirikan, Bumi dan Siti cukup mengalami
kesulitan terutama mencari para pemainnya. Mengingat tidak sembarang orang
dapat menjalani tugas berat ini, menjadi pembawa pesan rahasia atau mata-mata.
Dibantu
oleh Ratna Melati, biduan musik keroncong bentukan paman Rawi terdahulu,
akhirnya terkumpulah tujuh orang anggota. Pemain selo dan kotrabas, duo saudara
Sumo dan Sastro. Gitar oleh Kusno. Peniup flute Karman. Pemetik okulele cak,
Priambodo. Penggesek biola Ku Chen. Biduan, Siti dan Ramas Suryo. Tak lupa
okulele cak dimainkan oleh Bumi.
Debut
pertama Bulan Merah adalah di Ambarawa, salah satu titik perjuangan paling
penting di Jawa Tengah. Mengingat Bulan Merah bukan kelompok musik keroncong
biasa, maka lagu-lagu yang di bawakan juga lagu yang tidak biasa. Lagu gubahan
mereka sendiri yang di dalamnya disisipkan pesan rahasia. Lalu bagaimana cara
mereka bertukar pesan dengan pembawa pesan rahasia yang hadir?
Pertunjukan-pertunjukan
Bulan Merah selanjutnya selalu terahasia dan tidak terduga. Entah akan
berlangsung di kota mana? Tempat yang seperti apa? Dan kapan? Inilah yang
menjadikan nama Bulan Merah hanya sempat terdengar dari mulut ke mulut, tanpa
pernah disaksikan oleh orang-orang yang membicarakannya. Tidak heran jika kebanyakan
orang menganggap Bulan Merah hanyalah mitos belaka. Bahkan informasi
pertunjukan hanya ditulis pada kertas selebaran yang ditempelkan pada
sudut-sudut tertentu pinggira kota sesaat sebelum mereka akan tampil.
Ini
Malem. Pertoenddjoekan Boelan Merah.
Bermaen
di Kebon Djati. Djam 7.30.
Ketika
pertunjukan di Batavia, Bulan Merah sempat tertangkap oleh patrol Belanda. Meskipun
akhirnya mereka dilepaskan, karena tidak terbukti terlibat dalam pergerakan
perjuangan yang dinilai membahayakan Pemerintah Kolonial Belanda. Dari sinilah keberadaan
Bulan Merah semakin sulit dideteksi keberadaannya. Semakin meyakinkan orang
bahwa Bulan Merah memang mitos belaka. Bahkan mereka pindah markas dari rumah
besar paman Rawi di Semarang ke Boyolali. Meski mereka tetap melakukan
pertunjukan, mereka bergerak lebih hati-hati lagi.
Hingga
pada akhirnya kemerdekaan Indonesia di kumandangkan, Bulan Merah seperti
lenyap. Walau sejarah tidak sempat mencatat perjuangan Bulan Merah, ada pemuda
beruntung bernama Bre yang mendapatkan tuturan kisahnya secara lengkap dari
sang kakek. Lantas, sebenarnya Bulan Merah itu hanya sebuah mitos belaka atau memang
benar-benar pernah ada? Jika memang benar adanya, siapa kakek Bre ini?
Bagaimana beliau mengetahui detail cerita perjuangan Bulan Merah yang dipercaya
banyak orang hanya dongeng belaka.
Novel
yang mengangkat setting zaman kolonial ini, meyadarkan kita bahwa berjuang
melawan penjajah tidak hanya bisa dilakukan dengan mengangkat senjata. Banyak
cara lain, salah satunya dengan membantu pejuang dengan membawakan pesan
rahasia.
Buku
hasil naskah terpilih beasiswa kepenulisan Antitesa ini, ditulis dengan alur
yang unik, kisah flashback yang dituturkan
seorang kakek kepada cucunya. Pengetahuan penulis tentang seluk-beluk musik
keroncong membuat saya terkesima. Bahkan om Gin menyinggung asal kata keroncong
yang berasal dari bunyi ‘crong’ alat musik okulele cuk.
Meskipun
saya tidak menemukan typo yang fatal pada novel ini, namun rasa penasaran saya
tetap tidak terjawab tentang hadirnya istilah voorspel, tussenpel dan kadensa,
yang seperti menjadi halaman pembatas buku menjadi beberapa bagian.
Oke,
demikian sepenggal kisah Bulan Merah. Terimakasih sudah berkunjung.
Salam
sayang,
Latifah
Desti Lustikasari
Saya bener2 baru tau kalo ada cerita Bulan Merah. Mengenai keasliannya masih ditelusuri ya?! Hebat ya mereka bermain keroncong juga sambil berjuang ya, taruhannya nyawa loh itu kalo sampe ketahuan musuh
BalasHapusItu cuma ccerita fiksi kok mas. Tapi novelnya keren kok
HapusTerima kasih, Latifah. Ditunggu novelmu, ya :D
BalasHapusKembali kasih !as gin. Aaamiin untuk doanya :D
Hapus