Alvi Syahrin
— I Love You: I Just Can’t Tell You
“Cinta
yang sesungguhnya tidak perlu menggebu-gebu. Cinta yang sesungguhnya itu
menenangkan.”(Hal—22).
Pertama kali saya membaca novel ini, dari
contoh gratis google books. Saat itu
juga saya langsung ‘jatuh cinta’. Pada cara penulis bertutur. Pada tokohnya.
Juga si penulisnya. Sumpah demi apapun saya kira kak Alvi Syahrin ini
perempuan. Secara teman sekolah saya dulu yang bernama ‘Alvi’ perempuan. Saya
jadi bertanya-tanya kenapa namanya bukan ‘Alvian’ atau ‘Alvin’ saja. Bukankah
itu lebih maskulin?
Tapi,
itu semua tidak mengurangi rasa cinta saya pada kak Alvi Syahrin, kok :p. Tidak
juga mengurangi keinginan kuat saya untuk segera memiliki dia—novel, maksudnya.
Di
sini, kita akan langsung disambut dengan tokoh Daisy yang berusia 16 tahun, dan
belum dewasa. Sungguh, seperti itu tuturnya.
Usiaku
enam belas tahun, kelas sepuluh, dan belium dewasa.
Maksudku
belum dewasa pada arti sebenarnya.
Seperti,
tinggiku yang tak pernah meningkat—berhenti di angka 147 cm. Tubuhku yang
dibungkus oleh daging tipis dan tulang kurus. Menjadikanku gadis paling mungil
di kelas. Atau, miungkin, satu sekolah. Tetapi, ini bukan masalah utamanya
(Hal—04).
Seperti
anak SMA labil pada umumnya, Daisy ini sangat antusias dengan sindrom merah
jambunya. FYI, dia tokoh favorit saya. Memiliki rasa penasaran yang tinggi.
Berani—cendrung nekat. Namun malu-malu. Sok dewasa. Penentang aturan orang tua.
Konyol. Juga sedikit minder. Sangat bar-bar, tipikal remaja labil banget.
Si bocah bau kencur ini, ceritanya akan
memperjuangkan first love-nya.
Sepulang
sekolah, dengan PD-nya dia mengikuti kakak mahasiswa—pujaan hati— hingga sampai
kampus. Dan dengan nekatnya, dia ikut masuk kelas, duduk dekat si pujaan hati
dan menyimak mata kuliah bersama para mahasiswa tingkat akhir di kelas itu.
“Nama?”
Wow. Dia menuliskan.
Namaku.
“NPM?” Tanyanya
kemudian.
“NPM?” senyaknya, dan
aku terkejut.
NPM
itu apa? Aku mendadak dilanda gugup luar biasa. Aku berkedip dan merasa seperti
terbangun dari lamunan yang panjang (Hal—19).
Apakah
yang akan terjadi pada Daisy selanjutnya? Berhasilkah dia memperjuangkan first love-nya? Silahkan baca sendiri :d
Bagian paling saya suka dari novel ini adalah
cara kak Alvi menuturkannya. Lembut. Dan manis, layaknya marshmellow, gitu. Penggunaan
sudut pandang orang pertama—aku, sangat keren. Setidaknya bagi saya. Kak Alvi
sangat piawai bergonta-ganti pov tanpa membuat pembaca bingung.
Akh, saya suka banget. Sama kak Alvi haha.
Kekurangan dari novel ini....
Kekurangannya...maaf, karena saya sudah
terlanjur jatuh hati, apapun kekurangannya akan saya terima dengan ikhlas kok
*apasih ini. Mungkin harganya kali ya, sebagai mahasiswa kere, tentunya saya
selalu mengharapkan bahan-bahan bacaan keren dengan harga yang ber-pri-kemahasiswa-an
dong.
Oh ya, novel ini sangat-amat cocok dibaca oleh
adik-adik SMA. Saya sangat merekomendasikan ini, daripada kalian nonton
sinetron yang mengaku anak jalanan namun berlagak borjuis itu. Sungguh tidak
konsisten.
Saya rasa cukup, review panjang-panjang juga males baca kan? Lebih baik langsung
baca novelnya saja kalau penasaran.
“Mom, I’m truly seventeen. Please let me live
my life”—Daisy Yazawa
*Done Read
10 of 60 books in 2016
Bandarlampung, 04 maret 2016
Gile-gile. Misi 60 buku di tahun 2016 emang keren banget fah. Gue syuka keheranan sama orang yang rajin banget baca buku gini. Beda sama gue, rajin baca juga. Tapi gak buku, sih. Masa lalu. -_-
BalasHapusBuku ini pernah ada yang sampulnya sobek gitu, terus, kepegang tanganku, eh... kebuka semua. Udah, deh. dibaca. Bener katamu fah, rekomendasi buat adek2 yg masih SMA.
hahaha, seperti yang pernah kubilang, ini salah satu resolusiku di 2016, sebab berbagai alasan dan pertimbangan. setidaknya peralihan dari hobi baca status dan tweet mantan #psttt ini rahasia# wkwkw
Hapus