Tuhan Maha Romantis — Azhar Nurun Ala
Sebenarnya saya sudah menyelesaikan
baca buku ini sekitar seminggu yang lalu, tetapi kesibukan dan paket modem yang
limit memaksa untuk menunda posting laporan perkembangan bacaan saya.
Saya memperoleh buku ini akhir tahun 2015 dari paket goodybag yang diberikan panitia lomba
cerpen yang (Ehm!) saya menangkan. Di dalam goodybag
hadiah lomba yang bertema hari ibu itu ada sertifikat, novel, uang tunai—yang seketika
ludes, sebab teman-teman para begal pada minta traktiran, dan seperangkat
alat make up dari sponsor—sumpah saya
ngakak ketika memperolehnya. Secara jika saya disuruh menyebutkan nama alatnya
apa, sumpah demi jabatan Jokowi yang katanya presiden, saya gak tahu
.
.
Ini saya comot dari IG sebab saya tidak punya filenya lagi.
Hayu sekalian kalo mau difollow #Tetep #Promosi
Oke lupakan Jokowi, saya baru sempat
membuka bungkus buku ini beberapa hari yang lalu ketika sedang memilah-milah
buku yang akan saya ungsikan ke rumah dan stay
di kosan. Di situ saya baru sadar ternyata ini buku ada tanda tangan
penulisnya. Yeay! Saya sangat girang,
lumayan sekedar buat pamer-pamer juga nambah deretan koleksi buku saya yang
bertanda tangan penulis.
Maaf intermezonya kepanjangan.
Langsung aja.
“Untuk Kita, yang selalu dimanja takdir.”
Awalnya saya mengira ini buku (maaf)
bacaan ukhti-ukhti banget. Secara dari cover,
penulis—yang ikhwan banget dan kutipan-kutipan yang disematkan penulis. Tapi,
apa salahnya. Gak ada tho? Oke lajut
baca saja.
Saya seketika jantuh cinta dengan
novel ini ketika membaca bab pertama. Sumpah gregetnya dapet banget.
Penasarannya nonjok abis. Meskipun awalnya saya agak bingung dengan pov ‘aku’
entah cowok atau cewek. Sebab dalam dialog tidak ada perbedaan karakter antara
tokoh cewek dan cowok.
Tentang pertemuan Rijal dan Laras
setelah berpisah tujuh tahun lamanya. Tujuh tahun yang penuh tanda Tanya. Tujuh
tahun tanpa kabar. Tujuh tahun yang menyesakkan. Sebab saat itu—tujuh tahun
yang lalu—Laras langsung pergi begitu saja, tanpa pamit. Bahkan tanpa kabar
apapun setelahnya. Situasi di tempat
mereka janjian bertemu berselimut dingin, kaku dan canggung. Situasi bertambah pelik
ketika sebuah cincin telah tersemat di jari manis Rijal. Apa sebenarnya yang
terjadi pada Laras dan pergi kemana dia? Lalu, apa hubungan mereka berdua?
Setelah membaca bab 1, 2 dan 3 saya
langsung loncat ke bab ending yang
berjudul ‘Tuhan Maha Romantis.’ Yap, itulah kebiasaan saya kala membaca novel
apapun—terutama novel romantis. Saya lebih menikmati jalan cerita seperti itu ‘bab
awal, bab ending, lalu mundur dari akhir ke awal.’ Aneh atau unik? Entahlah.
Hal yang membuat saya semakin
tertarik pada novel ini adalah penulis yang juga menggunakan seting kota Bandar
Lampung, dan Lampung Tengah (kalo gak salah, saya lupa). Ini hal langka, saya
jarang menemukan seting novel di kota tempat saya tinggal, yang naik daun
karena produktivitas begalnya. Sepertinya Kak Azhar Nurun Ala berasal dari
Lampung juga. Sebab lomba cerpen yang sempat saya ceritakan di atas merupakan
rangkaian kegiatan dengan puncak kegitannya berupa bedah novel si Kak Azhar ini.
Meskipun bab-bab selanjutnya terkesan
biasa, tapi saya salut penulis mampu memberikan kesan yang dalam pada pembaca
di bab pertama. Namun saya agak merasa janggal pada ending-nya. Memang, pada akhirnya RIjal menyusul Laras ke New
Zealand dan mereka menikah. Tapi saya agak aneh dengan dialog ending-nya. Begini.
“Hmm.. Gimana ya? Aku pikir-pikir
dulu.”
“Berapa lama saya harus nunggu Kakak
mikir?”
“Hmm.. Oke, boleh sih, kelihatannya perjanjiannya seru. Tapia
lo sekarang kayaknya udah kesorean, mungkin bisa….”
“Besok! Saya udah ngobrol dengan Ayah dan Ibu Kakak. Mereka
sudah setuju, Ayah Kakak ngurus semuanya hari ini. Gimana, deal?”
“Deal.” (Hal—208).
Iyasih, ini gak real, cuma fiksi. Tapi kok, ngajak nikah kayak adek saya ngajak
temennya main PS. Cuma perkara deal or no
deal doang. Padalah kan umumnya orang kalau mau menikah itu ribet banget.
Sebenernya saya ada kutipan bagus
dari novel ini, tapi lupa halaman berapa. Saya ubek-ubek enggak ketemu. Padahal
waktu membaca sempat saya tandai. Saya yakin, pasti ada yang nyentuh ini buku
setelah saya baca tempo hari—ini salah satu kemampuan keren saya. Saya sangat
peka terhadap barang-barang yang saya miliki (Ngahahaha).
Sekian. Bye~
*Done read 05 of 60 books must read
in 2016
Tanggamus, 21
Jaunari 2015
Tidak ada komentar
Terimakasih sudah berkunjung. Silakan Berkomentar agar saya dapat mengunjungi balik blog kamu. Mohon maaf jika mendapati komentar dimoderasi, mengingat maraknya spam yang nganu.