Tere Liye –
Hujan
Sedikit
intermezo.
Sesungguhnya
saya bukan penggemar berat Tere Liye. Bukan juga tidak suka, ya. Saya tergolong
pembaca yang freak. Entah mengapa,
saya malah tidak terlalu suka dengan novel-novel penulis yang lagi naik
daun macam Bang Darwis ini. Saya justru lebih suka novel milik penulis macam Riiku
Hanazawa, Azhar Nurun Ala, Alvi Syahrin dan penulis biasa-biasa saja lain. Taste saya terhadap bacaan memang rada gak selaras sama selera pasar
. Semisal saya membaca novel Orizuka, Tere Liye, atau Pidi Baiq itu murni rasa penasaran. Seperti apa sih novel-novel yang sangat digandrungi khalayak itu?
. Semisal saya membaca novel Orizuka, Tere Liye, atau Pidi Baiq itu murni rasa penasaran. Seperti apa sih novel-novel yang sangat digandrungi khalayak itu?
Bukan
tanpa alasan sih saya tidak mau menggandrungi novel ciptaan penulis beken.
Justru sangat beralasan, utamanya karena harganya yang selangit itu sih.
Sebagai mahasiswa yang jatah bulanan saja, masih kucuran dana keluarga, mana
mampu. Apalagi menurut saya—menurut saya lho ya—Bang Darwis ini penulis yang
kapitalis. (Maaf semisal penggemar garis kerasnya membaca ini dan tidak suka.
Saya hanya mengungkapkan opini) seolah hanya ngejar royalti dan aji mumpung;
mumpung lagi laris, mumpung lagi naik daun, mumpung belum tersaingi, dsb. Hingga semua genre dijajalnya. Mulai dari
roman yang mengaru biru, politik, keluarga, remaja, fantasi bahkan yang terbaru
ini agak scifi.
Sebagai
pembaca dan pengamat saya merasakan sebuah siklus dilema yang mungkin
penggemarnya juga rasakan; Baru aja beli satu novelnya. Baru aja ingin helai
napas karena tabungan dikuras untuk beli novelnya yang berharga nyaris 100K
semua. Eehh blio udah nerbitin novel
baru, eh kumcer blio udah muncu lagi
di toko buku, eh sekarang novelnya
genre fantasi, eh yang novel lama
belum ke beli udah naik cetak. Sebagai pecinta buku, saya tahu bagaimana
rasanya ngebet banget ingin beli novel tapi rupiah lagi lemah-lemahnya. Nyesek
abis!
Kok
saya jadi mikir, ini penulis butuh duit
apa produktif? Jadi susah dibedain gini *helai napas. Perasaan Dee Lestari,
Raditya Dika, Trinity, Andrea Hirata, hingga J.K. Rowling, gak segitunya deh
nerbitin novel.
Tapi,
karena saya punya empat novel Tere Liye dengan hasil pemberian, ya saya fine-fine aja. Ada yang hadiah ulang
tahun (Sunset Bersama Rosie), ucapan terimakasih (Rindu), dukungan moral
(Sepotong Hati yang Baru) dan dibayarin gitu saja saat beli (Bulan). Beruntung
khan saya hahaha. Semisal kamu mau beliin juga, saya gak akan nolak kok untuk
mengkoleksi karya Bang Darwis :D
Koleksi
Novel Tere Liye Ber-TTD Penulis
Aniway,
Bang Darwis ini orang Lampung juga lho, seperti saya. Blio alumnus SMA 09 Bandar Lampung. Saya ketahui saat ikut bedah
novel Bulan di Poltekes Tanjung Karang, dulu—entah kapan percisnya, sudah lupa.
Saai itu saya ikut bedah novel Bulan sekedar gaya-gayaan aja sih. Biar
kelihatan kekinian. Lagipula saya punya empat bukunya, lumayan kan bisa minta
TTD penulis gratis.
***
Tidak
mampu beli bukan berarti tidak bisa membaca kan? Bisa pinjam teman. Seperti Novel
Hujan ini, saya baca karena hasil minjam. Entah ada angin apa tetiba dia mau
minjami saya novel ini, padahal saya tidak minta. Bahkan saya tidak tahu kalau
dia punya haha.
Sesungguhnya
saya tidak terlalu berekspektasi tinggi, sampai harap-harap cemas gitu. Saya
hanya penasaran, bang Darwis akan menceritakan apa lagi. Saya sedikit tidak nyaman dengan judulnya ‘Hujan’. Sumpah demi apapun, itu sudah klise
bangettt. Tema hujan, duhh! Udah enggak musim, Bang. Udah
basi. Gak ada tah tema lain? Banjir kek, kabut asap, teman Ahok gitu.
Ngahaha.
Dan
ekspektasi yang tidak saya harapkan benar-benar terjadi.
Dia ingin menangis. Dia
ingin tetap berada di sini. Dia ingin menagis saat hujan turun, ketika orang
lain tidak tahu bahwa dia sedang menagis.(—maaf saya lupa ini narasi halaman
berapa, bukunya sudah dikembalikan ke empunya :D)
Karena
air hujan menyamarkan air matanya, bla...bla...bla.... Duhh, alay ngetsss. Saya rada geli-geli lucu.
OK,
langsung saja, opening-nya terlanjur
melebar nih. Pada novel ini kita akan dibawa pada sebuah seting masa depan.
Sekitar tahun 2045, ketika teknologi paling mutakhir sudah tercipta; tablet
yang setipis lembaran HVS, jam tangan yang merangkap menjadi piranti komunikasi hingga alat pembayaran, mobil yang sudah bisa terbang, kereta trem yang sudah
secepat kilat dan lain sebagainya.
Semua
masalah berawal dari stasiun bawah tanah, ketika Lail bersama ibunya akan
berangkat sekolah untuk kali pertama setelah libur panjang. Kita tidak pernah
tahu apa yang akan terjadi di bumi semenit yang akan datang, sejam, atau sehari
kemudian. Kita, sebagai manusia hanya dapat memperkirakan. Pastinya ada di tangan
Tuhan Pemilik Semesta Alam. Begitupula pada saat itu, tidak ada penduduk bumi
yang pernah menyangka jika kejadian paling mengerikan di bumi akan terjadi.
Secanggih apapun teknologi, semutakhir apapun ciptaan manusia, tetap saja tidak
ada yang dapat menandingi kuasa semesta.
Tidak
ada yang menyangka bahwa bencana alam paling mematikan di muka bumi ini akan
terjadi pagi itu. Tidak ada yang pernah menyangka bahwa dalam hitungan menit alam
akan memporak porandakan seluruh peermukaannya. Gunung purba yang selam jutaan
tahun mati suri, meletus. Lebih dahsyat dari letusan gunung Tambora. Lebih mengerikan
dari letusah gunung Krakatau. Siklus alam yang terjadi 10.000 juta tahun sekali
itu, sukses memporak-porandakan kehidupan bumi dalam satu waktu.
Semua
kecanggihan teknologi lumpuh. Bumi gonjang-ganjing. Bahkan sisa penduduk bumi
tak kurang dari sepertiganya. Lail termasuk manusia yang beruntung atau sial,
entahlah. Yang jelas ia selamat dari bencana besar itu. Meskipun harus menerima
kenyataan bahwa ibundanya harus terjatuh kedalam jalur kereta bawah tanah saat
mencoba naik ke permukaan bumi melalui tangga darurat.
Tentu
keselamatannya tak lepas dari seseorang anak laki-laki yang menariknya dari
lubang jalur kereta bawah tanah bertepatan dengan gempa vulkanik susulan
terjadi. Anak laki-laki itu bernama Esok.
Hari-hari
mereka selanjutnya dihabiskan di tenda pengungsian lapangan GOR yang tersisa.
Keluarga keduanya tidak ada yang selamat. Mereka harus tertatih juga merangkak
untuk move dari kejadian mengerikan
itu di usia yang terbilang dini.
Meski
beberapa tahun kemudian perlahan-lahan kota-kota di bumi kembali menggeliat dan
bangkit, namun apakah hati juga dapat bangkit semudah itu? Bagaimana dengan
trauma, sedih, kehilangan dan remah-remah hati yang tersisa? Apakah bisa
dikembalikan hingga utuh?
Esok
yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata akhirnya diangkat anak oleh seorang
kaya raya yang akan mendanai studinya hingga selesai. Sementara Lail, ia harus
menjalani hari-harinya di panti sosial.
Susah-senang
yang mereka lalui bersama selama di tenda pengungsian membuat keduanya sangat
dekat. Lantas bagaimanakah mereka mengatasi perpisahan? Ketika akhirnya Esok
diterima di perguruan terbaik di ibukota yang sukses memisahkan mereka?
Terjatuh,
bangkit, kembali terjatuh, tertatih, semua itu sudah Lail lalui. Lantas sebatas
apa hati seorang manusia dapat bertahan?
Ledakan
hati Lail terjadi bertepatan dengan kabar mengejutkan bahwa Esok yang bernama
tenar Soke Bahtera merupakan salah satu ilmuan teknisi kapal super canggih yang
akan membawa manusia hidup di luar angkasa. Itu terjadi ketika mereka sudah
dewasa, karena perubahan cuaca ekstrem pasca ledakan gunung purba yang
diperkirakan ilmuan akan memusnahkan penduduk bumi tak kurang dari sepuluh
tahun kedepan.
Sayangnya,
tidak semua penduduk bumi dapat ikut, hanya orang-orang tertentu yang terpilih
dari mesin pencacah genetika. Itu semua ditempuh ilmuan untuk menyelamatkan
spesies manusia dari kepunahan.
Lalu,
apakah Soke Bahtera akan meninggalkan Lail begitu saja? Apakah Lail sanggup
hidup dengan tanda tanya besar tentang Esok yang entah mencintainya atau tidak?
Simak
kisah selengkapnya bersama Elijah yang sedang mendengarkan cerita Lail di ruang
bedah syaraf pusat kota.
*Done
read 11 of 60 books in 2016
Bandarlampung,
23 Maret 2016
sangat menyentuh hati :) orang kedua yg ngeplus kayak nya :D
BalasHapusOrang kedua? Siapakah dia?
HapusTere Liye produktif dan aji mumpung. Itu yang bener. :D
BalasHapusyak, setuju sama bang haris *bisik-bisik* :D
HapusAku suka kok novel-novelnya Tere Liye. Tapi gak masalah juga orang berpendapat apa tentang dia. Hehe
BalasHapusBtw, sejauh ini yg udh aku baca sih, menurutku buku2nya beliau itu selalu meninggalkan pesan yg tersirat. Secara gak langsung, ada pelajaran yg bisa aku ambil dari cerita yg dipaparkan dalam bukunya.
Tapi kalo novel hujan ini belum baca dan belum punya (pinjeman).
Oh iya, aku setuju kalo novelnya kemahalan! Hahaha
Aku juga suka, apalagi kalo gak pake beli hehehe.
HapusIya memang seperti itu, tidak bisa dipungkiri novel blio emang neninggalkan pesan tersirat. terlepas dari itu, ada semacam keresahan yang ingin saya ungkap. itu saja.
sipp, kalo setuju! mungkin kapan2 kita bisa bikin petisi atau demo bareng, menuntut harga2 novel yang kemahalan.
Aku setuju banget dengan opini kamu :D Aku juga sama denganmu, belum pernah baca buku terbitan siapapun yang lagi tenar. Dulu sih alasan karena bukunya mahal. Nggak pas di kantong pelajar.
BalasHapusKemudian bukunya ada terus sampai bingung enaknya mau baca yang mana duluan. Akhirnya males juga beli meski budget skarang uda bisa tuh beli buku mereka. Jadi aku belum pernah tau gaya menulisnya yang katanya bagus itu gimana.
Aku cuma pernah baca bukunya Fuad Fuadi yang Negeri 5 Menara. Itu juga dapat hadiah. Dan... lelah bacanya cuma sampai di sepertiga buku. Terlalu bertele-tele dan mendetail. Mungkin itu kelebihan dia. Detail gambarin suasana. Tapi terlalu over dan membosankan. Jadi males mau beli. Ternyata ekspetasiku nggak sesuai.
andai penerbit juga setuju dengan opiniku. hmmm... alangkah indah hidup mahasiswa dan pelajar
Hapuskalo udah gitu, aku paling beli yang direkomendasikan teman, ya sekedar intip gaya menulis si penulis 'populer' itu aja.
banyak buku bagus yang seperti itu memang. terkesan pembaca berita, aku juga gak terlalu suka dengan gaya menulis yang terlalu detail menggambarkan seting tempat. sesuatu yang berlebihan memang tidak baik, sih
Tere liye itu produktif plus aji mumpung juga si. Mungkin selagi bisa produktif dan selalu diminati. Knapa nggak kan? Apalagi buku2nya selalu best seller. Keren!
BalasHapusTapi jujur, gak pernah baca buku terbitan tere liye. Temen juga banyak yg gak punya si.. hihi
Tapi kata2nya buku tere lite selalu memeberikan pelajaran di setiap bukunya. Pokoknya keren deh! Tapi belum pernah baca. -___-
iya, memang cukup keren sih dia.
HapusYang nerbitin buku penerbit bang, bukan tere liye, blio cuma nulis. hadehhh
makanya baca bang biar kekinian -_____- :D
Aku kurang setuju sama opinimu, kalo dibilang aji mumpung kayaknya enggak juga, tere liye tulisannya kerena-keren, emang punya banyak genre, tapi justru itu kekuatannya, banyak hal menarik yang dia sajikan di tema-tema yang berbeda itu.
BalasHapusiya bang yud, gak papa kok kamu gak setuju sama opiniku.
Hapuskita emang udah beda, kita gak sejalan, papahku sukanya bengbeng dingin. FIX!
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusaku sendiri masih buruk dalam urusan membaca buku, buka ya.. kalau novel, aku belum berminat sama sekali. adapun novel yang aku baca sampai habis karena ceritanya yg bikin ketagihan karya ayu utami dengan judul manjali dan cakra birawa. aku yakin pasti udah naik alis sebelah karena aku baca karangan ayu utami. hehehe..
BalasHapusngomongin soal tere liye? entahlah, aku g pernah baca soal dia. cuman aku setuju sama opinimu. ditambah lagi kemarin tere liye bikin gempar karena status fb-nya.
akupun begitu, 'baik dalam membaca buku' itu yang seperti apa? akupun tak tahu -___-
Hapuswah jadi penasaran sama karya ayu utami itu. akumah gitu orangnya gampang penasaran mbk Pit ::D
oh iya itu yang status fb, entahlah mungkion banyak yang sirik sama blio
Gue gak terlalu suka baca novel sih, novel yang pernah gue baca palingan Tetralogi Laskar Pelangi. Dan, gue sendiri malah belum pernah denger judul novel ini. Maklum gue kudet kalo soal novel...
BalasHapusEh, genre sci-fi paling enak tuh kalo ditonton, dengan kata lain film. Kalo genre sci-fi, menurut gue sih agak kurang enak ya... Berarti kita harus bayangin sendiri kecanggihan" yang di novel itu... But, mungkin buat melatih imajinasi, cocok tuh.
wah bagus itu mas Fud, karangan aandrea hirata. cuma bahasanya nyastra bangettt, kugak kuat -___-
Hapussaran gue, sering-sering melipir toko buku mas, biar agak kekinian. okesip!
tapi gak juga sih, gue justru suka versi novelnya. secara imajinasinya lebih liar dan fleksibel. kalau udah difilmkan gue merasa tastenya kurang aja. istilah masakan agak cemplang gitu hehehe
Saya sudah selesai baca buku ini mbak hehe..
BalasHapusiya, selamat Neng :)
Hapus