Bagaimana Saya Bisa Terdampar di Jakarta?


"Abis ini mau ke mana, lo Fah?"
"Wih alhamdulillah ya, tinggal nunggu wisuda, abis wisuda ke mana nih?"
"Di rumah terus lo ya Peh, wisuda periode berapa? Abis wisuda rencana ke mana?"
"Abis nerima ijazah, tinggal ijabsah lah, ya!"
***

Kurang lebih seperti itu dominasi pertanyaan teman, saudara dan sahabat yang  dilontarkan ke saya di beberapa bulan jelang penghabisan tahun 2019. Pada intinya mengerucut pada:
Selepas wisuda saya mau 'ke mana'?
Bagi saya pribadi pertanyaan-pertanyaan tersebut terbilang aneh, karena yang ditanyakan mengacu pada kata keterangan 'ke mana' bukan kata kerja 'mau ngapain'.

Saya pribadi sih gak ambil pusing. Apapun pertanyaannya biasanya akan saya jawab dengan guyon tapi pakai mimik sok serius, "Iya nih otw niqah. Minta doanya aja ya!"

Yaa, walaupun dalam sanubari saya tidak berkesimpulan demikian. Kan saya gak ada kewajiban untuk membeberkan keinginan atau perasaan jujur saya pada khalayak ramai. Cukup saya dan Tuhan aja yang tahu. "Iya, kan mendoan!"

Saya ingat sekali saat itu hari kamis, saya melipir ke masjid Ad' Dua Way Halim, saya ingin numpang carge ponsel sekalian nunggu tiba waktu duhur. Saya ada janji interview dengan atasan senior jurnalis saya, tapi masih belum fiks jam berapa.

Saya galau luarbisa memikirkan hendak menginap di mana. Mengingat saya udah gak punya kos lagi di Bandar Lampung. Sialnya semua kawan-kawan kuliah yang saya hubungi tidak ada yang sedang stay di Balam.

Sampai di sini moral valuenya adalah, semakin tinggi usia maka akan semakin menyempit circle pertemanan. Dan saya berduka menghadapi kenyataan itu.

"Wah, gak mungkin kelar ini urusan hari ini!" Desis saya pasrah. Mengingat masih ada beberapa urusan birokrasi akademik di kampus yang harus saya selesaikan esok.

Saya sampai iseng cek-cek tarif Oyo dan Redoorz saking buntunya. Dan sial banget, di momen kere begitu, ternyata sekelas hotel melatipun tidak mampu saya booking barang cuma semalam.

Sejujurnya saya gak punya rencana apa-apa selepas wisuda. Tapi, saya pun gak berkeinginan untuk membangun karir di kota tempat saya berkuliah.

Maka ketika segala fasilitas transportasi hingga akomodasi dicabut sama bapak dan semua barang-barang ditarik pulang dari kos, termin bulanan tidak diperpanjang, saya pasrah. Manut dan iya-iya saja. Walau dalam hati meratap pedih.

Saya merasa, "Saya butuh suasana dan lingkungan baru untuk melanjutkan hidup."

Karena, Bandar Lampung dan segala hiruk-pikuknya terlalu banyak menorehkan kenyamanan, kebahagiaan, pengalaman, pula momen yang terlalu mendalam.

Sebulan Pasca Penyematan Gelar

Saya melalui fase mahasiswa yang sungguh anti-mainstream dari mahasiswa umumnya, jalan yang saya lintasi amat terjal, berliku pula curam. Hampir-hampir saya menyerah di tikungan tajam. Tapi pada akhirnya finish juga. Saya berhasil menyelesaikan apa yang terpaksa sudah saya mulai.

Saya lega, lega sekali, telah mempertanggung jawabkan kewajiban saya sebagai seorang anak kepada Bapak-Ibuk, tapi rasa lega itu datang diboncengi rasa ambyar, "Saya rasa, babak baru kehidupan saya baru akan ditempuh."

Tepat satu bulan sudah saya diwisuda dan saya masih saja menganggur.  Dan rasa bosan saya memuncak, karena sebelum wisuda pun saya punya gap menganggur yang cukup panjang. Tabungan saya sudah dikuras habis untuk menghidupi diri sendiri dan ngurusi tetek-bengek persiapan wisuda.

Jujur dari hati yang paling dalam, saya lelah hidup dengan saldo atm minus. Saya gak bisa pergi ke mana-mana, mau ngisi bensin pun mikir-mikir.

Saya tidak pernah menyesal punya gelar belakang S.Si (Sarjana Sains) I'm proud of it!

Tapi pada kenyataanya memang cukup sulit memperoleh pekerjaan yang ideal selepas bergelar sarjana, malah godaan tawaran kerjaan datang silih  berganti ketika saya sedang proses skripsian. Trembelene emang, Cuk!

Karena dorongan untuk hidup di habitat baru cukup kuat, maka saya pun applay CV sana-sini dengan agak ogah-ogahan. "Ketrima syukur, gak dipanggil interview yowes. Yang penting saya udah usaha seperti sarjna-sarjana mainstream lainnya!"   
Saya menghibur diri dengan melihat-lihat pameran lukisan di Taman Budaya Lampung seusai ikut interview, mengenakan pakaian kebesaran job seeker! 
Tawaran untuk menjadi jurnalis datang silih-berganti, tapi dalam lubuk hati saya lelah mengarungi kerasnya jalanan tiap hari, harus ready setiap kali diutus liputan, dan yang pasti saya menginginkan kehidupan yang lebih teratur.

Saya ingin menjalani profesi lain, di luar jurnalis. Tapi sial, interview saya gak kunjung taken kontrak. Kasian mesin printing di rumah, mungkin dia lelah harus sering-sering mencetak lembar lamaran pekerjaan saya.

And here i am! Menyimak adzan duhur di salah satu sudut masjid Ad Dua, sembari memerhatikan mamah-mamah muda majelis taklim yang lalu-lalang mengenakan gamis-gamis hijrah trendi yang saya sendiri begidik heran membayangkan harga dan mereknya.

"Mungkin kalau posisinya saya diiperkenankan sholat, saya bisa membasuh wajah yang suntuk ini dengan air wudhu, meletakkan kepala yang penat ini serendah-rendahnya di hadapan Allah, kemudian istigfar banyak-banyak!" 

Tapi kenyataannya saya cuma mematung di depan ponsel tanpa tahu harus bagaimana. Otak saya mendadak hang!

Pengumuman di grup blogger, jam fix janji interview, panggilan telepon dari seorang kawan di Jakarta dan rentetan pesan wasap panjang dari sahabat masuk di waktu yang berdekatan. Seolah saya tidak diberi waktu sedetikpun untuk mencerna kejadian demi kejadian.

Saya harus pilih yang mana? Saya harus bagaimana? 

"Jadi, bisa berangkat kapan?" Kata Wawan di sebrang sambungan ketika telah menjelaskan dan menjawab seterang-terangnya alasan saya harus bersiap ke Jakarta.

"Baiknya kapan?" Kata saya lagi berusaha mencerna takdir yang ditumpahkan ke saya sama Semesta siang terik itu.

"Secepatnya!" Saya mengerutkan kening sembari menjerit dalam hati. 'Saya kudu jawab apa ,Cuk!'

"Gak bisa mikir sik, nih?"

"Gak bisa, butuh cepet ini, paling lambat senen udah masuk kerja."

"Wagelaaseh! Ini udah kamis, Sat! Rumangsamu Tanggamus-Jakarta sepelemparan sarung tangan Thanos!"

Dan siang itu saya tetap melaksanakan sesi interview sesuai plan A yang menjadi alasan besar saya pagi-pagi bertolak ke Bandar Lampung mengenakan seragam hitam-putih. Interview berjalan cukup alus sebab saya langsung disodori nominal gaji, penempatan, jobdesk awal, sampe dikenalin ke calon teamwork.

Luar biasa sekali! Saya benar-benar migren berat dan butuh teman ngopi!  

Mendadak hari itu saya punya jadwal amat padat. Sampai-sampai gak sempat cek berkas legalisir di rektorat. Seketika saya punya janji jumpa dengan Mas Arif, Manager salah satu gerai fastfood kenamaan. Ini buntut dari salah satu pesan-pesan riuh mengejutkan--yang bikin hati saya bar-bar-- tadi siang.

Bersumber dari  pesan wasapp di WAG Tapis Blogger mengenai pengumuman pemenang lomba review Grand Opening HokBen Antasari. Luar biasa sekali, nama saya ikut nangkring di daftar pemenang.
"Oke, ongkos Damri aman." Pikir saya, seumpama keputusan final adalah ambil tawaran kerja di Jakarta.
Menyusul kemudian Ratu mengirim pesan, mengatakan kalau dia sedang di Bandar Lampung. Saya makin girang, kendati kami enggak bobok bareng dan pillow talk seperti biasa di kosnya, karena dia harus balik Pringsewu sore ini untuk prepare bagi rapor esok harinya. Ya, setidaknya saya gak jadi minep di emperan Al Wasii, deh!

Kadang saya merasa, "Kenapa sih, Allah begitu baik kepada saya. Kenapa Allah begitu sayang kepada saya. Kenapa Allah begitu memudahkan jalan hidup saya. Sedangkan saya ini siapa. Apalah daya saya ini, si hamba yang fasik dan penuh dosa!"

Ngomong-ngomong fasik, saya punya puisi islami yang bagus sekali. Jangan kaget denger suara saya, ya. Gimana strategi softselling saya, udah oke belum Guys? HAHAHA


Saya menulis ini sembari mendengarkan lagu Superheroes - The Script yang saya download bajakannya dari internet. Semoga tidak membikin siapapun berkeberatan atas kejujuran ini. Saya menulis ini di sudut kos putri di salah satu kompleks perumahan di daerah Kebon Nanas, Jakarta Timur.

"Dan yap! Why time flies so fast!" Kurang lebih saya sudah tiga bulan di Jakarta. Membaur bersama hingar-bingar kehidupan ibukota yang belum pindah.

"Thanks to Allah 4 everything u given to me." Dan terimakasih kepada The Script yang cukup setia menemani saya menjalani hari-hari.

Cause he's stronger than you know
A heart of steel stars to grow
When you've been fighting for it all your life
You've been strunggle to make things right
What's how a superhero learns to fly
--Superheroes - The Script--

4 komentar

  1. Peluks buat Latifah, kangen ngopi bareng atau haha hihi... dengan cerianya berceloteh. Semoga sukses di Jakarta, lanjutin dong ceritanya.

    BalasHapus
  2. Terima kasih, Latifah udah mau berbagi rasa dan cerita. Inspiratif! Mungkin bagi beberapa orang ngerasa ketika susah adalah akhir dari segalanya. Nyatanya, Allah mengirimkan petunjuk bagi siapa saja yang tak pernah lelah meminta kepada-Nya.

    BalasHapus
  3. Jadi ini strategi terbarumu untuk menaikkan trafik. Not Bad!
    Perlu dicoba! Semoga ada peningkatan ya biar kamu gak terus syedih.

    BalasHapus
  4. Semangat Feh,terus berkarya... sukses untuk dirimu hanya soal waktu....Insya Allah...
    Klo sukses jangan diem2 ya... hehehe..

    BalasHapus

Terimakasih sudah berkunjung. Silakan Berkomentar agar saya dapat mengunjungi balik blog kamu. Mohon maaf jika mendapati komentar dimoderasi, mengingat maraknya spam yang nganu.