Kerlip
Sang Bintang yang Hilang — Anna Azlina
Pertama kali melihat novel ini saya
sedikit heran ‘Ini novel buatan presiden RI kah?’ Sebab di cover depan tertera nama Ir.
H. Joko Widodo (Jokowi). Namun ketika mebuka halaman awal saya baru ngerti
apa maksudnya. Ternyata Jokowi itu cuma endorsement
(hehe).
Memasuki
halaman selanjutnya keheranan saya kembali memuncak sebab endorsement-nya banyak banget broh. Nyaris tiga halaman. Ajegile. Mulai dari Jokowi (presiden),
Tere Liye (penulis), Bambang (Rektor UMS), dosen UGM, kandidat doktor, penikmat
sastra, kepala sekolah, guru agama, petani, nelayan, mahasiswa uzur, dan masih
banyak lagi
(oke empat terakhir karangan saya aja yang sedikit melebay). Tapi sumpah si penulis niat banget nyari endorsement.
(oke empat terakhir karangan saya aja yang sedikit melebay). Tapi sumpah si penulis niat banget nyari endorsement.
Kita
akan dipertemukan dengan tokoh bernama Bintang. Seorang anak jalanan yang
pandai melukis. Kisah bermula ketika Bintang yang sedang berjualan lukisan
secara spontan menyelamatkan seorang anak jalanan yang dikejar-kejar oleh
preman di daerah Gilingan, Solo. Sejak saat itu mereka bersahabat. Bintang
kemudian mengajak Kerlip—anak yang dikejar preman—tinggal bersama di rumah yang
lebih layak disebut gubuk reot. Sebelumnya bintang memang sudah tinggal di sana
atas izin pak RT setempat.
Berdua
mereka menapaki kehidupan dengan penuh semangat khas anak berusia sekitar dua
belas tahunan. Untuk makan sehari hari, mereka menjual lukisan buatan bintang.
Persahabatan mereka mulai diuji ketika kerlip dituduh sebagai pencuri dompet
milik istri Tuan Tanah. Meskipun kak Tina—pemilik LSM Seroja yang perduli
dengan anak jalanan—selalu baik hati membantu mereka, tapi entah mengapa Kerlip
pergi tanpa pamit. Meninggalkan Bintang di LSM Seroja.
Meskipun
pada akhirnya Bintang dengan kemampuan melukisnya berhasil menjadi pelukis
sukses hingga membuat pameran sendiri. Kerlip tetap tidak ada kabarnya.
Kemanakah sebenarnya Kerlip pergi? Mengapa Kerlip meninggalkan Bintang tanpa
pamit? Akankah takdir kembali mempertemukan mereka?
Novel
ini ditulis sangat sistematis dan rapih. Tapi jujur, malah membuat saya sedikit
bosan membacanya. Berseting di kota Solo dengan menyebutkan nama-nama daerahnya
seperti Polres Manahan, daerah Gilingan, Rumah Sakit Dokter Moewardi, Pasar
Nusukan dan masih banyak lagi. Tapi saya tetap enggak terbayang tempatnya,
sebab tidak dijelaskan lebih rinci. Mungkin juga karena saya gak pernah ke Solo
kali ya (haha).
Maaaf
tidak ada kutipan favorit. Sebab saya tidak menemukan kutipan yang membekas di
hati (tsahh). Oke sekian. Bye~ bye~
*Done
read 08 of 60 books must read in 2016
Tanggamus,
04 Februari 2016
Tidak ada komentar
Terimakasih sudah berkunjung. Silakan Berkomentar agar saya dapat mengunjungi balik blog kamu. Mohon maaf jika mendapati komentar dimoderasi, mengingat maraknya spam yang nganu.